Sabtu, 17 November 2018

Tinggal di Jayapura




Waktu terasa begitu cepat berlalu, seakan baru kemarin aku bersama dua anakku menyusul suami ke Papua. Satu tahun sudah aku di  sini, di bumi cendrawasih. Dulu..wkt belum tahu akan berangkat ke sini, dalam benakku Papua itu hutan. Kendaraan jarang, mall? Jangan harap ada.. harga BBM mahalnya gak ketulungan, begitu pun dengan harga-harga lainnya tapi ternyata setelah menginjakkan kaki di Jayapura aku cukup terkesima karena ternyata tidak separah bayanganku. Yaa memang tidak seluruh Papua seperti ini.. beberapa tempat terpencil memang masih agak tertinggal, mungkin memang krn aksesnya yg sulit dijangkau. Ok, skip dulu soal itu. Sekarang yang ingin ku bahas adalah kota Jayapura, tempat tinggalku sekarang.

Pertama kali mendarat di Jayapura dan keluar dari Bandara Sentani yang membuat mataku berbinar adalah pemandangan pegunungan yang begitu jelas terlihat. Sedikit tertutup kabut namun tak menyurutkan keindahannya di mataku. Setelah menjauh dari bandara, sepanjang perjalanan mataku masih disuguhkan dengan pemandangan pegunungan, kali ini gunung kapur yang berjejer, berdiri kokoh di sepanjang jalan raya. Ternyata tak selesai sampai di situ, ada juga pemandangan Danau Sentani yang luar biasa indahnya. Belum pernah aku melihat danau seindah ini selain dalam lukisan.

Tinggal di Jayapura
Danau Sentani


Tinggal di Jayapura
Penampakan Danau Sentani dari Bukit Mc Arthur

Sambil menikmati pemandangan sepanjang perjalanan menuju rumah kontrakan, aku pun memerhatikan jalan raya yang cukup ramai saat itu. Ternyata banyak sekali kendaraan lalu lalang. Bukan hanya kendaraan umum atau angkot yang di sini biasa disebut dengan taksi, melainkan juga kendaraan pribadi dari yang model pasaran sampai mobil mewah pun ada, anakku Alvin paling bersemangat kalau soal pemandangan mobil mewah. 

Sambil memandangi keadaan di sepanjang jalan aku cukup penasaran dengan harga BBM di sini, kutanyakan pada suamiku yang lebih dulu tinggal di Jayapura dan jawabannya cukup membuatku tercengang sekaligus lega karena ternyata sejak tahun 2017 harga BBM di sini sudah satu harga dengan wilayah Indonesia lainnya. Tak bisa dibayangkan jika harganya masih harga lama yang berkisar sekitar 70 ribu - 100 ribu rupiah per liter, bisa-bisa aku minta pulang saja ke Bogor karena jika BBM mahal otomatis harga kebutuhan lainnya juga mahal.


Tinggal di Jayapura


Ya, harus ku akui memang ada beberapa kebutuhan pangan yang harganya di atas harga rata-rata di Bogor, seperti telur misalnya.. harga telur di sini dibanderol dengan harga Rp. 3.000,- per butir. Itu jika kita membelinya di warung, namun lain cerita jika membeli di supermarket, di sana harga lebih murah, sekitar Rp. 2.500,- sampai Rp. 2.700,- per butir..biasanya harga bisa lebih murah lagi jika kesegaran telur sudah berkurang atau ketika mereka sedang mengadakan promo atau diskon.

Lain lagi di pasar tradisional, di sana harga telur dipatok sesuai ukuran. Jika ukuran kecil maka harganya murah, sebaliknya ukuran besar harga lebih mahal. Terakhir kali aku membeli telur di pasar seharga Rp.2000,- per  butir dengan ukuran sedang. 

Selama tinggal satu tahun di sini belum pernah aku mengalami naiknya harga telur melebihi harga-harga yang ku sebutkan tadi, jadi meskipun harga telur di pulau Jawa sedang tinggi, harga di sini tidak terpengaruh, tetap stabil. Begitupun ketika harga telur di pulau Jawa turun, harga di sini tetap pada pendiriannya. Mengapa begitu? Aku juga belum paham..hehe...

Masih mengenai harga. Adalagi harga pangan yang juga tinggi di sini, seperti ikan air tawar. Ikan air tawar mahal karena mungkin masih jarang ada peternak ikan di sini. Padahal ikan air tawar cukup diminati di sini, terutama ikan mujair. 

Banyak restoran berkelas sampai rumah makan kaki lima yang menyajikan menu ikan mujair. Restoran-restoran itu mematok harga bervariasi antar Rp. 80.000,- sampai Rp. 150.000,- per ekor, untuk ukuran sedang dan sudah dimasak tentunya. Sedangkan ukuran besar tentu lebih mahal lagi.


Tinggal di Jayapura
Menu ikan mujair di restoran

Memang menu ikan mujair termasuk menu makanan mewah di sini. Padahal sewaktu di Bogor aku cenderung menganggap ikan mujair ini hanya lauk yang biasa-biasa saja, murah, mudah didapat dan aku lebih bangga makan gurame yang harganya lebih mahal, hehe. 

Anehnya lagi anak sulungku justru menjadi sangat menyukai ikan mujair goreng ketika sudah tinggal di sini, padahal waktu di Bogor dia tidak terlalu suka ikan. Hanya saja karena ikan mujair agak sulit didapat jadi kami lebih sering membeli ikan laut yang jauh lebih murah dan mudah didapat, seperti ikan tuna sirip kuning atau di sini biasa disebut ikan ekor kuning. Ikannya besar, dagingnya padat, tulangnya sedikit, apalagi kami selalu mendapatkan ikan tuna sirip kuning ini dalam keadaan masih sangat segar karena memang langsung didapat dari pasar ikan Hamadi tempat berkumpulnya para nelayan yang menjual ikan hasil tangkapannya. Penyuka sashimi pasti akan sangat menyukainya karena ikannya begitu segar.


Tinggal di Jayapura
Alvin di Pasar Ikan Hamadi, Jayapura

Harga ikan laut, udang, cumi-cumi dan hasil laut lainnya tergantung dari kondisi cuaca di laut. Jika cuaca sedang kurang baik harga biasanya tinggi, jika cuaca bagus harga pun kembali normal. Seperti 'si ekor kuning' andalanku ini, ketika cuaca bagus harga yang ditawarkan antara Rp. 45.000,- sampai Rp. 60.000,- untuk satu ekor ikan ukuran 2kg, cukup besar dan banyak dagingnya. Sedang ketika cuaca buruk terutama saat musim hujan, harganya melonjak dari Rp. 70.000,- sampai Rp. 100.000,-.


Tinggal di Jayapura
Gulai Ikan ekor kuning/ Tuna sirip kuning

Harga pangan yang juga lebih tinggi dari harga di Bogor atau kota-kota lain di pulau Jawa adalah harga sayuran tapi perlu digaris bawahi, hanya sayuran tertentu saja dan dimana tempat membelinya menjadi penentu. Jika kita membeli sayuran di pasar atau tukang sayur tentu harganya murah karena mungkin sumbernya di dapat dari petani-petani yang ada di sini. Lain hal jika kita membelinya di supermarket, harganya bisa sangat tinggi dan horor menurutku, terutama harga sawi dan kol. Mungkin ini disebabkan karena supermarket memperolehnya dari pemasok di pulau Jawa atau pulau terdekat lainnya, sehingga ada ongkos lebih yang perlu dibayar.

Jujur aku sempat kaget waktu pertama kali beli pecel ayam atau di sini biasa disebut 'lalapan ayam', harganya lebih dari dua kali lipat harga di Bogor, entah apa penyebabnya, mungkin juga karena harga ayam yang masih mahal di sini. Harga sedikit murah bisa di dapat di supermarket tapi tentu ayamnya beku dan sudah tidak terlalu segar karena biasanya dipasok dari pulau Jawa.

Memang harga BBM yang terjangkau belum bisa membuat semua harga bahan-bahan pangan bisa setara dengan daerah lainnya, masalah pasokan dan masalah lainnya yang mungkin menjadi pemicunya. Namun semua tidak membuat nyaliku ciut dan ingin kembali ke Bogor karena semua tergantung bagaimana kita menyikapinya. Seperti contoh ikan tadi, jika ikan air tawar mahal, masih ada ikan laut yang jauh lebih murah. Jika merasa telur mahal, beli saja telur ukuran kecil di pasar. Lagipula tidak semua harga mahal, banyak juga barang-barang dan bahan-bahan pangan yang harganya sama dengan harga di pulau Jawa, kalaupun berbeda, selisihnya tidak terlalu banyak.

Bisa dibayangkan pasti lebih parah lagi kondisinya jika pemerintah belum mengubah harga BBM di sini menjadi satu harga dengan daerah lain, pasti horor kan harga-harganya. Jadi aku bersyukur berada di kota ini ketika harga BBM tak lagi menakutkan.

Sedikit tips untuk menghemat pengeluaran di Jayapura, jika tinggal untuk  jangka waktu yang panjang alangkah baiknya jika memasak sendiri di rumah ketimbang makan di restoran. Sesekali boleh saja makan di restoran tapi harus pintar memilih juga. 

Kebanyakan restoran di sini menyajikan menu yang sama tapi harga bervariasi, tergantung tempat. Jika tempatnya biasa-biasa saja seperti di tenda pinggir jalan tentu harga lebih rendah, jika tempatnya memiliki gedung sendiri dengan view yang bagus, instagramable seperti pinggir laut atau pinggir danau harganya biasanya jauh lebih tinggi tapi soal rasa sebenarnya tidak jauh berbeda.


Tinggal di Jayapura
Restoran pinggir laut di Jayapura

Jayapura memang tak semegah kota-kota besar di Pulau Jawa, namun kota ini pun tidak lagi cocok untuk disebut tertinggal karena di sini kita pun dapat dengan mudah menemukan pusat perbelanjaan, seperti mall dan supermarket tapi jangan harap menemukan Indomaret atau Alfamart yang menjamur seperti di Bogor dan sekitarnya ya karena kedua minimarket itu belum eksis di sini.


Tinggal di Jayapura
Mall Jayapura


Mall Abepura, Jayapura

Bukan hanya pusat perbelanjaan tapi juga rumah sakit, bank, perkantoran, bahkan tempat karaoke yang namanya cukup terkenal di pulau Jawa pun ada di sini. Tak hanya itu, restoran - restoran waralaba yang meramaikan dunia fast food di pulau Jawa sudah eksis juga di sini.

Sebelum berangkat ke sini aku sempat mengkhawatirkan tentang signal internet. Tak ada internet artinya hidupku kembali ke masa-masa remaja, muda lagi, langsing lagi..haisss, apa sih Tan.. maksudnya balik lagi ke masa-masa komunikasi jaman dulu, hanya pakai telepon dan SMS. Tentu berat donk, biar Dilan saja yang merasakan. Apalagi posisiku jauh dari keluarga besar, tanpa WhatsApp boros lah sudah komunikasi kami dan tidak ada lagi kangen-kangenan via video call. 

Syukurnya yang kukhawatirkan itu tidak terjadi karena di sini pun ada internet, meskipun hanya ada satu provider saja..ya, di sini hanya ada Telkomsel yang dapat diandalkan untuk urusan signal internet, sedangkan yang lain bukan tidak ada, hanya saja fasilitas yang dimiliki hanya sebatas layanan voice/ telepon.

Suatu ketika pernah kami mengalami putusnya jaringan internet setelah terjadi gempa. Seperti yang kita ketahui Papua memang termasuk pulau yang rawan gempa dan sering terjadi gempa setiap tahunnya. Selama satu tahun di sini aku sudah empat kali merasakan gempa, sedangkan suami lima kali sewaktu aku masih di Bogor. Nah, dikarenakan terjadinya gempa saat itu kami di sini tidak memiliki akses internet dalam waktu yang cukup lama, kira - kira tiga bulan lamanya. Katanya telah terjadi kerusakan kabel optik di laut yang disebabkan oleh guncangan gempa. 

Bisa dibayangkan tiga bulan tidak ada jaringan internet, kalaupun ada sedikit sekali dan hanya hitungan detik lenyap lagi. Jadi, ketika muncul setitik sinyal, aku dengan jurus seribu jari langsung memberi kabar pada ibuku di Bogor melalui WA. Belum sempat ibuku membalas, sinyal sudah hilang lagi. 

Makanya tidak heran jika membaca status media sosial orang-orang yang tinggal di sini setiap terjadi gempa, penuh sekali dengan harapan, bukan harapan keselamatan diri melainkan harapan agar kabel optik tidak putus..haha.. ini nyata terjadi loh. Alhamdulillah gangguan sinyal itu sekarang sudah tidak ada dan semoga tidak akan ada lagi.

Bagaimana dengan siaran televisi? Paling - paling hanya ada siaran lokal seperti TVRI Papua. Eits!! Tunggu dulu.. di sini semua siaran ada, dari channel TV nasional sampai luar negeri seperti FOX & HBO pun ada. Tentu saja, karena di sini pun ada TV kabel. Iuran per bulannya pun cukup terjangkau, hanya Rp. 60.000,- per bulan. Entahlah, jika hanya mengandalkan antena saja channel nasional bisa terjangkau atau tidak tapi setahuku rata-rata penduduk di sini sudah beralih ke TV kabel. Makanya jangan kira orang Papua itu kuno dan tertinggal karena kenyataannya teknologi seperti televisi dan internet sudah membuat mereka kekinian, tidak jauh berbeda dengan orang-orang di luar Papua sana. 

Kendati demikian, penduduk asli masih belum bisa meninggalkan kebiasaan lama yang mungkin memang sudah mendarah daging, yaitu mengunyah pinang. Entahlah apa enaknya mengunyah pinang dan sirih sampai mulut merah seperti pakai gincu. Aku belum mencobanya tapi menurutku masih lebih baik pinang dari pada rokok, rokok mengganggu kesehatan orang lain, namun bukan berarti pinang tidak mengganggu. 

Pinang pun bisa mengganggu, terutama mengganggu pemandangan karena seringkali beberapa orang  mengunyah pinang membuang atau meludah ampasnya di sembarang tempat hingga mengotori jalanan, bahkan tembok rumah juga mobil-mobil yang diparkir. Sehingga sering dijumpai semburat merah hampir di sepanjang jalan. Itulah sebabnya di beberapa tempat fasilitas umum dipasang peringatan dilarang meludah pinang sembarangan.


Tinggal di Jayapura

Ternyata Jayapura itu hampir mirip dengan kota Bogor, kota asalku. Kota yang tidak terlalu besar dan sarat dengan pendatang. Begitu pun dengan Jayapura di sini banyak sekali pendatang, rata-rata dari mereka adalah pendatang dari Sulawesi dan Jawa, ada pula pendatang dari Sumatra dan pulau lainnya namun tidak sebanyak Sulawesi dan Jawa. 

Sebagian dari para pendatang ini merupakan transmigran dari tempat asal mereka sejak bertahun-tahun silam. Mereka mengadu nasib di Jayapura dengan bekerja sebagai petani, pedagang sayur, pedagang bakso, pedagang ikan dan profesi lainnya selain pedagang, seperti pengajar misalnya, aku tahu karena ada guru anakku yang bercerita bahwa dirinya transmigran.

Selain transmigran, pendatang lainnya merupakan pengusaha yang ingin mengembangkan usahanya di Jayapura, lalu ada TNI & Polri yang ditugaskan ke sini dan ada pula para pekerja yang ditugaskan oleh perusahaan-perusahaan untuk bekerja di cabang yang ada di kota seribu pinang ini, suamiku adalah salah satunya.

Banyaknya pendatang di Jayapura memunculkan dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya dapat terlihat dari perkembangan kota ini. Banyak yang bilang dulu Jayapura tidak seperti ini, Jayapura tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Papua yang masih tertinggal. Namun seiring masuknya pendatang ke Jayapura lambat laun membawa perubahan yang baik.

Pernah suatu ketika seorang kenalanku di sini bercerita padaku, dia bilang dulu penduduk asli sini menjual cabe beserta dengan batang dan akarnya, jadi setiap panen mereka selalu mencabut pohon cabe sampai ke akarnya kemudian menanamnya lagi dengan biji, begitu seterusnya. Semua berubah sejak pendatang berdatangan, para pendatang mengajari mereka cara yang benar dan sekarang dapat dilihat di pasar-pasar tradisional para penduduk asli menjual cabe tanpa batang dan akarnya. Itu hanya salah satu contoh nyata dampak positifnya. Masih banyak yang lainnya, seperti di bidang pendidikan, kesehatan serta bidang lainnya.

Sayangnya tidak semua penduduk asli sepaham dengan kenyataan tersebut karena sepanjang pengamatanku ada kecemburuan sosial yang mereka rasakan dan sering kali memunculkan perdebatan yang tidak jarang juga memunculkan gejolak yang berakhir dengan keributan. Makanya tidak aneh jika di sini ada gerakan separatis yang seringkali membuat keresahan. Apalagi beberapa kali terjadi sekelompok orang melakukan demonstrasi bahkan deklarasi kemerdekaan, namun syukurnya polisi selalu berhasil menggagalkan dan membubarkan mereka dan efeknya hanya kemacetan panjang yang terjadi sepanjang jalan.

Kecemburuan ini bukan tanpa alasan. Memang terlihat jelas kesenjangan di antara penduduk asli dengan pendatang, dari segi ekonomi terutama. Ada yang bilang ini karena pendidikan mereka yang tertinggal tapi sepertinya bukan itu penyebab utamanya. 

Di sini sudah banyak sekolah-sekolah dari mulai SD sampai perguruan tinggi. Banyak anak-anak asli Papua yang bersekolah sama seperti anak-anak di daerah lain di Indonesia. intinya untuk urusan pendidikan di Jayapura ini sudah cukup baik menurutku. 

Jika ditelisik lagi lebih jauh pasti ada hubungannya dengan sejarah, sosial, budaya dll yang mungkin otakku tidak akan sampai karena bukan ranahnya, namun menurut pemikiran awamku kondisi ini juga terjadi disebabkan oleh perbedaan pola pikir serta budaya. 

Sederhananya begini, ada yang mengatakan bahwa bagi penduduk asli yang hidup di jaman dulu kerja keras itu adalah berburu dan menangkap ikan. Lain halnya dengan pendatang yang sejak dulu sudah mengartikan kerja keras selalu berhubungan dengan materi alias uang yang rata-rata dilakukan dengan menjadi pekerja atau berdagang. Maka tidak aneh saat ada kejadian beberapa tahun silam dimana pemerintah menyediakan kios kios gratis untuk penduduk asli yang mau berdagang berakhir gagal dan hanya menyisakan beberapa yang bertahan, itupun hanya menjual pinang, akhirnya lagi-lagi kios-kios dibeli oleh pendatang. 

Itu salah satu kasus di bidang perdagangan, masih banyak kasus-kasus lain tentang perbedaan pola pikir dan budaya yang menyebabkan penduduk asli kurang bisa bersaing secara ekonomi dengan para pendatang, sehingga terjadi kesenjangan sosial antar penduduk asli dengan pendatang.

Memang tidak semua penduduk asli seperti itu. Sekarang banyak juga penduduk asli yang maju dan bersaing dengan pendatang, menjadi pedagang yang sukses, bahkan dokter, guru, dosen. Selain itu juga tidak  sedikit penduduk asli yang duduk di kursi pemerintahan daerah, bahkan menjadi gubernur dan bupati. Seperti tetanggaku di sini yang merupakan pemimpin redaksi koran harian di Papua, dia salah satu penduduk asli Papua yang berpikir maju ke depan, pola pikirnya tidak jauh berbeda dengan pendatang. 

Masyarakat Jayapura sesungguhnya sekarang sudah semakin maju, terutama untuk penduduk aslinya, tidak lagi seperti kasus-kasus dulu yang ku sebutkan di atas, namun entah kenapa kesenjangan sosial masih saja ada.

Adanya kesenjangan sosial antar penduduk asli dengan pendatang diperparah dengan konsumsi miras di kalangan masyarakat di sini. Hal ini menyebabkan suasana sering kali memanas karena adanya pengaruh alkohol di antara para pemabuk. Kalau sudah begini orang-orang sepertiku hanya bisa terpaku di dalam rumah, mengintip sesekali sambil berdoa agar kami semua baik-baik saja. Bukan tanpa alasan tapi memang keadaannya seringkali menakutkan karena para pemabuk itu sering membuat onar dan tak jarang membahayakan penduduk sekitar.

Terlepas dari itu semua, sejujurnya aku senang sekali bisa berkesempatan menginjakkan kaki di bumi cendrawasih ini. Tak bisa dipungkiri kekayaan alam di Jayapura ini sangat menawan, meski akses menuju ke beberapa tempat indah itu lumayan sulit medannya, namun semua terbayar ketika mata ini bisa menikmati keindahan secuil surga yang jatuh ke bumi.

Beberapa orang berpendapat ada baiknya jika tempat-tempat indah itu dikelola dengan baik dengan manajemen yang tepat oleh perusahaan pendukung yang bergerak di bidang pariwisata agar menjadi tempat wisata yang dikenal luas masyarakat Indonesia, aksesnya tak lagi sulit dilalui sehingga akan menarik banyak wisatawan. Mendengar ini kok aku tidak setuju bahkan sedikit tak rela karena menurutku justru keindahan dan keaslian tempat-tempat indah itu akan terjaga jika tidak terlalu banyak terjamah tangan manusia.


Tinggal di Jayapura
Danau Sentani


Tinggal di Jayapura
Pantai Harlem


Selain kekayaan alam yang menawan, penduduk asli Papua yang berada di Jayapura pun sejatinya adalah orang-orang yang ramah. Terlepas dari kesenjangan sosial yang ada, mereka juga menghormati dan berhubungan baik dengan pendatang karena sesungguhnya mereka pun orang-orang Indonesia yang cinta damai dan ingin hidup rukun. 

Di sini setiap pagi jika berpapasan dengan penduduk asli, mereka akan mengucapkan salam, "Selamat pagi!" Dengan senyum manis menyejukkan hati, tentu kita pun harus membalas salamnya dengan senang hati. Meskipun tidak saling mengenal, bahkan berbeda suku dan agama ketika berpapasan kami akan saling mengucapkan salam di pagi hari. Hal inilah yang membuatku selalu bersemangat jika suamiku mengajakku joging di minggu pagi karena ketika saling berucap salam ada perasaan hangat merebak dalam hatiku.


Tinggal di Jayapura
Alvin bersama teman dari Pantai Harlem



Tinggal di Jayapura
Festival Danau Sentani 2018

Andai salam tak sekedar ucapan dan kebiasaan.. andai salam menandakan persaudaraan dan ketulusan, tentu tidak akan ada sekat di antara kita semua karena apapun rasnya, agamanya, sukunya bahkan pandangan politiknya, selama berada di bumi Pertiwi dan sama-sama mencintainya kita semua adalah saudara.

Aku Sunda, suamiku Sumatra, kami ada di Jayapura di rumah kami, Indonesia.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar